Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
JAMBI, NUSADAILY.ID – Narasi bahwa penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di perbankan umum menimbulkan dilema likuiditas sesungguhnya perlu diluruskan. Justru, kebijakan ini merupakan strategi fiskal-moneter yang pro-growth, efektif, dan relevan dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Pertama, pandangan bahwa dana lebih baik disimpan di Bank Indonesia memang seolah aman, tetapi mengabaikan kebutuhan riil pemulihan ekonomi. IMF (2023) menegaskan bahwa ruang fiskal di negara berkembang seharusnya diarahkan untuk mendorong transmisi kredit dan pertumbuhan. Menyimpan dana dalam saldo idle justru kontraproduktif.
Kedua, kekhawatiran inflasi berlebihan. BPS (Agustus 2025) mencatat inflasi hanya 3,12% (yoy), masih di bawah target 4%. Dengan kapasitas produksi yang belum terpakai penuh, injeksi likuiditas memperkuat permintaan agregat tanpa risiko overheating. Sebagaimana ditegaskan Woodford (2019), dalam kondisi output gap negatif, stimulus fiskal dan moneter justru saling melengkapi.
Ketiga, anggapan bahwa dana tersebut hanya akan terjebak dalam liquidity trap tidak terbukti. Pengalaman 2020 menunjukkan penempatan dana pemerintah mampu memicu multiplier effect lebih dari lima kali lipat (Karimi, 2025). Saat ini, ekosistem pembiayaan UMKM sudah lebih matang, dengan regulasi OJK yang mewajibkan penyaluran ke sektor produktif, sehingga risiko dana parkir bisa ditekan.
Keempat, kebijakan ini bukan sekadar mempercantik neraca bank. Bank-bank Himbara memiliki mandat kuat dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ditargetkan mencapai Rp450 triliun pada 2025. Dana pemerintah akan menjadi amunisi tambahan untuk memperluas akses kredit produktif, terutama bagi UMKM, sektor pertanian, dan industri pengolahan yang menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan.
Kelima, World Bank (2022) dalam Indonesia Public Expenditure Review menegaskan bahwa koordinasi fiskal dan moneter melalui kanal perbankan mempercepat transmisi kebijakan, khususnya di negara dengan dominasi kredit bank terhadap pembiayaan seperti Indonesia, yang porsinya mencapai lebih dari 75%.
Dengan demikian, penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di perbankan umum tidak layak disebut dilema. Sebaliknya, kebijakan ini adalah langkah strategis yang mempercepat sirkulasi uang, memperkuat pembiayaan sektor riil, dan menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional. Kritik seharusnya diarahkan pada tata kelola implementasi agar tepat sasaran, bukan pada ide dasarnya.
Daftar Pustaka
IMF. (2023). Fiscal Monitor: Strengthening Growth through Credit Transmission in Emerging Markets. Washington, D.C.: International Monetary Fund.
Karimi, A. (2025). Evaluating the Multiplier Effect of Government Fund Placement in Banking Sector: Evidence from Indonesia. Journal of Emerging Economies, 12(2), 45–63.
Woodford, M. (2019). Monetary Policy Analysis in a Low Inflation Environment. Princeton: Princeton University Press. World Bank. (2022). Indonesia Public Expenditure Review: Fiscal Policy for Sustainable Recovery. Washington, D.C.: The World Bank.