Oleh: Budi Prasetiyo
BUNGO, NUSADAILY.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya membatalkan Keputusan No. 731 Tahun 2025 yang semula membatasi akses publik terhadap 16 jenis dokumen, termasuk ijazah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Ketua KPU Afifuddin menyebut, langkah ini diambil karena lembaga penyelenggara pemilu itu mendengarkan aspirasi publik.
Namun, keputusan awal KPU yang sempat membatasi akses tersebut tetap menyisakan tanda tanya. Kritik datang deras dari kalangan DPR lintas fraksi, mulai dari Deddy Yevri Hanteru Sitorus (PDIP), Dede Yusuf (Demokrat), Ahmad Doli Kurnia (Golkar), hingga Rifqinizamy Karsayuda (NasDem). Mereka menilai, KPU telah melanggar prinsip keterbukaan yang jelas diatur dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Nada serupa juga muncul dari kalangan masyarakat sipil. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menegaskan, pembatasan dokumen publik sama saja dengan menghilangkan hak rakyat untuk mengetahui jati diri para kandidat yang berkompetisi dalam pemilu. Hak ini fundamental, karena rakyatlah pemegang kedaulatan.
Sebagai kader partai sekaligus penggiat media massa, saya menilai bahwa keterbukaan adalah roh demokrasi. Transparansi bukan sekadar aturan administratif, melainkan fondasi kepercayaan publik terhadap seluruh proses pemilu. Begitu keterbukaan dicabut, publik akan bertanya-tanya: ada apa di baliknya? Untuk kepentingan siapa sebuah kebijakan lahir?
Apalagi, keputusan KPU membatasi dokumen terasa janggal dari segi waktu. Pemilu presiden 2024 sudah berlalu, sementara pilpres berikutnya masih empat tahun lagi. Maka wajar bila publik menduga ada motif tersembunyi. Di sinilah pentingnya kontrol DPR, civil society, dan media untuk terus mengawal agar KPU berdiri di jalur konstitusionalnya.
Dalam konteks ini, media tidak boleh berhenti hanya menyiarkan pembatalan keputusan KPU. Tugas media adalah menggali lebih dalam: siapa yang mendorong aturan tersebut? Mengapa kebijakan yang bertentangan dengan prinsip keterbukaan bisa lolos dalam rapat pleno KPU? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk memastikan agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Kita harus belajar bahwa demokrasi hanya bisa tumbuh subur bila transparansi dijaga. Pemilu yang jujur dan adil bukan hanya soal kotak suara, tetapi juga soal akses informasi yang setara antara rakyat dan elite. Bila informasi ditutup, maka jurang ketidakpercayaan akan semakin lebar.
Karena itu, pembatalan keputusan KPU saya pandang sebagai koreksi penting, tetapi belum cukup. Publik berhak tahu mengapa kesalahan itu bisa terjadi. Demokrasi tidak boleh dibangun dengan kecurigaan, melainkan dengan keterbukaan. Dan itu hanya bisa terwujud jika KPU konsisten menjadikan transparansi sebagai nafas penyelenggaraan pemilu.
Redaksi nusadaily.id/*