Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
JAMBI, NUSADAILY.ID – Fenomena lubuk tikus di Limbur Lubuk Mengkuang, Bungo, yang kian marak akibat praktik tambang emas tanpa izin (PETI), sudah lama menjadi perhatian publik. Namun, yang membuat masyarakat kian gusar adalah sikap aparat yang seolah membiarkan praktik ilegal ini terus berlanjut. Padahal, konsekuensinya tidak hanya kerusakan lingkungan, tetapi juga berpotensi melahirkan kejahatan sosial lanjutan, termasuk peredaran narkoba, kriminalitas, dan penyakit sosial lainnya.
Sejarah kriminalitas di berbagai daerah menunjukkan, kawasan yang dibiarkan menjadi “zona abu-abu” akan berkembang menjadi lahan subur bagi jaringan kejahatan yang lebih kompleks. Lubuk tikus PETI yang tidak tersentuh hukum bisa berubah fungsi menjadi tempat persembunyian, transaksi gelap, hingga perlintasan distribusi narkoba.
Penelitian Baird & Shoemaker (2017) dalam Illegal Mining and Organized Crime in Southeast Asia mengungkapkan bahwa kawasan tambang liar sering kali menjadi simpul bagi aktivitas kejahatan terorganisir. Tambang ilegal tidak hanya menyedot sumber daya alam, tetapi juga menciptakan ekosistem sosial yang rentan: masuknya pekerja dari luar daerah, minimnya pengawasan, hingga terbentuknya “ekonomi bayangan” yang justru lebih kuat dari hukum formal.
Jika aparat terus membiarkan, PETI akan menjadi pintu masuk penyakit sosial baru. Studi dari Badan Narkotika Nasional (BNN, 2023) menunjukkan bahwa daerah-daerah rawan tambang ilegal kerap menjadi rute distribusi narkoba karena lemahnya kontrol sosial dan penegakan hukum. Tambang liar yang semula hanya urusan ekonomi gelap, lama-lama akan terkoneksi dengan pasar narkotika.
Selain narkoba, dampak sosial lainnya adalah meningkatnya angka kriminalitas, perjudian, prostitusi, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Dalam perspektif sosiologi kriminal, apa yang disebut “disorganisasi sosial” (Shaw & McKay, 1969) menjelaskan bahwa komunitas dengan kontrol sosial rendah akan lebih rentan menjadi lahan subur bagi penyimpangan perilaku. Limbur Lubuk Mengkuang hari ini persis menggambarkan kondisi itu.
Kegagalan aparat menindak PETI di Lubuk Mengkuang dapat ditafsirkan sebagai bentuk sindrom pembiaran. Jika dibiarkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap negara, dan justru menganggap hukum sebagai “barang dagangan” yang bisa dinegosiasikan. Situasi ini amat berbahaya, karena akan menumbuhkan legitimasi bagi pelaku kejahatan untuk semakin mengakar.
Penelitian dari Indonesian Corruption Watch (ICW, 2022) bahkan menyebut bahwa sektor tambang ilegal di beberapa provinsi tidak lepas dari keterlibatan oknum aparat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Artinya, masalah Lubuk Mengkuang tidak hanya soal tambang liar, tetapi juga soal integritas institusi hukum itu sendiri.
Jika Lubuk Mengkuang terus menjadi “lubuk tikus” yang dibiarkan, maka ia akan melahirkan lubuk-lubuk lain: lubuk narkoba, lubuk kriminalitas, dan lubuk penyakit sosial. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus segera melakukan tindakan tegas, bukan sekadar operasi simbolik. Penertiban harus diikuti dengan rekonstruksi sosial-ekonomi masyarakat, agar mereka tidak kembali terjerumus ke dalam ekonomi ilegal.
Masyarakat Bungo tidak boleh dibiarkan hidup dalam bayang-bayang tambang ilegal yang pelan tapi pasti menggerogoti sendi-sendi sosial. Negara harus hadir, bukan sekadar menonton.
Daftar Pustaka
Baird, I. G., & Shoemaker, B. (2017). Illegal Mining and Organized Crime in Southeast Asia. Journal of Southeast Asian Studies, 48(3), 393–412.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2023). Laporan Tahunan BNN 2023: Tren Peredaran Narkoba di Daerah Rawan Tambang. Jakarta: BNN.
Shaw, C. R., & McKay, H. D. (1969). Juvenile Delinquency and Urban Areas. Chicago: University of Chicago Press. Indonesian Corruption Watch. (2022). Laporan Praktik Korupsi di Sektor Pertambangan 2022. Jakarta: ICW.