Bungo Gelar Dialog Moderasi Beragama: Merawat Kerukunan di Tengah Bayang Intoleransi

Posted on

“Orang sulit toleran jika perutnya lapar, menganggur, atau merasa kehidupannya terancam. Sementara tafsir yang semata tekstual sering melahirkan sikap eksklusif,”

BUNGO, NUSADAILY.ID  – Kabupaten Bungo pada Selasa (30/9) menjadi tuan rumah seminar bertajuk “Moderasi Beragama untuk Bungo Damai: Membangun Kerukunan dan Menolak Intoleransi.” Acara ini diinisiasi Pusat Studi Bungo SDGs Center bersama Badan Intelijen Negara (BIN), BPBD, Kesbangpol, dan Kantor Kementerian Agama setempat, Selasa (30/09/2025).

Bertempat di Aula Kementerian Agama, seminar menghadirkan lintas pemangku kepentingan: pelajar SMA/SMK/MAN, ormas Islam, aparat Polres dan TNI, Kejari, tokoh agama, akademisi, hingga perwakilan pemerintah daerah. Forum ini lahir di tengah kekhawatiran meningkatnya potensi intoleransi dan radikalisme di era digital, dengan harapan melahirkan rekomendasi konkret bagi harmoni sosial.

Kepala Kemenag Bungo, Herman, membuka sesi materi dengan menekankan moderasi beragama sebagai kebijakan nasional yang kini menjadi arus utama pembangunan. Ia menegaskan bahwa Perpres Nomor 58 Tahun 2023 telah menggariskan pentingnya sikap beragama yang menjunjung jalan tengah, menolak ekstremisme, dan menghindari kekerasan atas nama keyakinan.

“Moderasi beragama berarti umat tidak boleh terlalu ekstrem ke kiri atau ke kanan. Konsep ini mendorong keseimbangan dalam menjalankan ajaran agama, disertai penghormatan terhadap perbedaan,” kata Herman.

Sesi kedua diisi oleh Syarif Abdurrahman, M.Pd., pengurus GP Ansor Bungo, yang mengupas peran ormas Islam dalam melawan intoleransi. Menurutnya, faktor utama intoleransi muncul dari dua hal: tafsir agama yang kaku dan bias kepentingan, serta kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekonomi.

“Orang sulit toleran jika perutnya lapar, menganggur, atau merasa kehidupannya terancam. Sementara tafsir yang semata tekstual sering melahirkan sikap eksklusif,” jelasnya.

Syarif menekankan tiga langkah penting bagi ormas Islam: memperluas kajian tafsir melalui ruang diskusi publik, membangun kemandirian ekonomi untuk menopang masyarakat, dan terlibat aktif dalam isu dasar seperti pendidikan serta kesehatan. Ia menilai pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, sehingga kolaborasi dengan Nahdlatul Ulama dan badan otonomnya, GP Ansor, Fatayat, IPNU, dan IPPNU, menjadi krusial.

Dalam paparannya, Syarif juga mengutip Surah Al-Hujurat ayat 13 dan Al-Baqarah ayat 256, yang menegaskan pentingnya toleransi dan menolak paksaan beragama. Ia menambahkan, kualitas kepemimpinan ormas menentukan arah perlawanan terhadap intoleransi.

“Seorang organisator hebat harus memiliki visi, tim solid, kemampuan komunikasi, dan rendah hati,” ujarnya.

Mengutip KH. Hasyim Asy’ari dan cendekiawan Yudi Latif, Syarif menutup dengan pesan moral: kedewasaan terletak pada kemampuan menerima realitas pahit tanpa kehilangan komitmen untuk melawannya.

“Intoleransi tidak boleh dibiarkan berkembang. Pemerintah, ormas, dan masyarakat harus bahu-membahu menjaga kebersamaan. Dengan kerja sama yang kuat, kita bisa membangun bangsa yang damai dan sejahtera,” tandasnya.

Jurnalis: Al-Aqsa Bintang Nusantara/*
Disusun oleh: Redaksi / nusadaily.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *