JAMBI, NUSADAILY.ID – Pada tanggal 9 Februari 2025, Indonesia kembali memperingati Hari Pers Nasional (HPN) yang ke-79. Tanggal ini bukan hanya menjadi momentum bagi insan pers untuk merefleksikan perannya dalam masyarakat, tetapi juga merupakan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berdiri sejak tahun 1946. Sejarah panjang pers Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perjuangan kemerdekaan, pembangunan bangsa, dan pertahanan kebebasan informasi.
Daftar Isi
Sejarah Awal Hari Pers Nasional dan PWI
HPN pertama kali ditetapkan pada tahun 1985 melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Keputusan ini meresmikan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, bertepatan dengan berdirinya PWI pada 9 Februari 1946 di Kota Solo. PWI didirikan dengan tujuan untuk menyatukan para jurnalis Indonesia dalam satu wadah organisasi yang memperjuangkan kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Pada masa awal pendiriannya, PWI memainkan peran penting dalam menyebarluaskan informasi mengenai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kala itu, berbagai surat kabar dan media berupaya mengabarkan kondisi perjuangan kepada masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun internasional. Keberadaan PWI juga memperkuat posisi jurnalis dalam menghadapi berbagai tantangan di era pasca-kemerdekaan.
Peran Pers dalam Perjuangan Kemerdekaan
Sebelum Indonesia merdeka, pers telah menjadi salah satu alat perjuangan dalam melawan kolonialisme. Jurnalis dan wartawan menerbitkan berbagai tulisan yang membangkitkan semangat nasionalisme dan mengkritik pemerintahan kolonial. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Tirto Adhi Soerjo, Soekarno, dan Tan Malaka menggunakan media sebagai alat untuk menyebarkan ide-ide perjuangan.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, peran pers semakin kuat dalam menjaga eksistensi Republik Indonesia. Media massa berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, sekaligus sebagai alat untuk melawan propaganda pihak kolonial yang masih ingin menguasai Indonesia. Pada masa itu, PWI menjadi salah satu pilar utama dalam membangun jurnalisme yang independen dan nasionalis.
Pers di Era Orde Lama dan Orde Baru
Setelah kemerdekaan, pers menghadapi berbagai tantangan di bawah pemerintahan yang berbeda. Pada era Orde Lama (1945-1966), pers mengalami dinamika politik yang sangat kuat. Media yang berbeda ideologi sering digunakan sebagai alat propaganda, baik oleh pemerintah maupun kelompok politik tertentu.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Sosok Muhammad Bisri, Komisioner KPU Kabupaten Bungo
Memasuki era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, kebebasan pers semakin dibatasi. Pemerintah menerapkan regulasi ketat yang mengharuskan semua media dan wartawan untuk terdaftar dalam PWI. Peraturan Menteri Penerangan tahun 1969 menyatakan bahwa hanya anggota PWI yang diakui sebagai jurnalis sah. Hal ini menyebabkan adanya kontrol ketat terhadap pemberitaan dan pembatasan terhadap kebebasan pers.
Proses untuk menjadi anggota PWI saat itu juga tidak mudah. Calon anggota harus memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA), yang hanya bisa diperoleh setelah melalui berbagai tahapan, termasuk pemeriksaan latar belakang dan verifikasi ketat dari pihak berwenang. Bahkan, calon jurnalis harus memiliki Surat Tanda Kelakukan Baik dari Kepolisian serta bukti bahwa mereka tidak terlibat dalam Gerakan 30 September PKI.
Kehadiran Tan Malaka dalam Kongres PWI
Salah satu peristiwa bersejarah dalam perjalanan PWI adalah kehadiran Tan Malaka dalam kongres PWI pada tahun 1946. Tan Malaka, seorang tokoh revolusioner yang dikenal dengan pemikirannya yang tajam, datang ke kongres dan memberikan pidato yang menginspirasi banyak jurnalis saat itu.
Rosihan Anwar, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI (1970-1973), mencatat peristiwa tersebut dalam bukunya Sejarah Kecil “Pettite Histoire” Indonesia, Volume 3 (2004). Ia menggambarkan bagaimana Tan Malaka hadir dengan pakaian serba hitam, sepatu kaplars, dan topi helm tropis berwarna hijau muda. Dalam pidatonya yang berlangsung hampir empat jam tanpa jeda, Tan Malaka berbicara tentang perjuangannya, gagasan-gagasannya dalam Madilog, serta pandangannya terhadap kebebasan pers.
Kehadiran Tan Malaka dalam kongres tersebut menegaskan bahwa PWI tidak hanya berafiliasi dengan satu ideologi tertentu, melainkan merupakan wadah bagi semua insan pers yang memperjuangkan kebebasan dan kebenaran. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran pers dalam membangun kesadaran nasional serta mempertahankan kemerdekaan.
Baca Juga: Biografi Acep Sopandi: Pendamping dan Pegiat Desa yang Berkomitmen Membangun Kepemimpinan Desa
Tantangan Pers di Era Digital
Kini, setelah lebih dari tujuh dekade sejak berdirinya PWI, dunia pers menghadapi tantangan baru di era digital. Perkembangan teknologi dan internet telah mengubah cara informasi disampaikan dan dikonsumsi. Media cetak mulai tergantikan oleh media digital, dan jurnalis harus beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pers saat ini adalah penyebaran berita palsu atau hoaks. Di era media sosial, informasi dapat dengan mudah disebarkan tanpa verifikasi yang memadai. Hal ini menuntut para jurnalis untuk semakin profesional dalam menyajikan berita yang akurat dan berimbang.
Selain itu, kebebasan pers masih menjadi isu yang perlu terus diperjuangkan. Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, tekanan terhadap jurnalis dan media masih sering terjadi. Kasus kriminalisasi jurnalis, pembatasan akses informasi, serta ancaman terhadap kebebasan berekspresi menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi oleh insan pers di tanah air.
Kesimpulan
Hari Pers Nasional ke-79 bukan hanya sekadar peringatan, tetapi juga menjadi refleksi bagi seluruh insan pers tentang perjuangan panjang yang telah dilalui. Dari masa kolonial, era Orde Lama, Orde Baru, hingga era digital, pers selalu memainkan peran penting dalam menjaga kebebasan informasi dan demokrasi.
Sejarah PWI, peran pers dalam kemerdekaan, serta kehadiran tokoh seperti Tan Malaka dalam kongres PWI menunjukkan bahwa pers bukan sekadar profesi, tetapi juga perjuangan. Oleh karena itu, di era modern ini, insan pers harus terus mempertahankan profesionalisme, integritas, serta semangat untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Dengan semakin berkembangnya teknologi dan tantangan baru di dunia jurnalistik, insan pers dituntut untuk terus berinovasi dan mempertahankan peran sebagai pilar keempat demokrasi. Selamat Hari Pers Nasional 2025! Semoga pers Indonesia semakin maju dan terus menjadi penjaga demokrasi yang kuat.
(InsanPers/*****)
Sumber dan Referensi
- Website Resmi Persatuan Wartawan Indonesia, https://www.pwi.or.id/
- Persatuan Wartawan Indonesia, https://id.wikipedia.org/wiki/Persatuan_Wartawan_Indonesia
- Hari Pers Nasional, https://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Pers_Nasional
- Hari Pers Nasional, Bagaimana Sejarahnya?, https://www.rri.co.id/lain-lain/1312580/hari-pers-nasional-bagaimana-sejarahnya