“Engkau sarjana muda, susah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu…”
Lirik legendaris dari Iwan Fals ini kembali menggema di benak saya, tepat ketika membuka data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), Mei 2025. Ironi dalam lagu itu ternyata belum usang. Bahkan, semakin relevan hari ini.
Sebagai seorang pendidik, saya menyaksikan sendiri bagaimana tantangan terbesar para lulusan perguruan tinggi bukan lagi soal kelulusan—melainkan keberlanjutan. Harapan untuk segera mendapat pekerjaan setelah wisuda, bagi sebagian besar lulusan, perlahan berubah menjadi kekhawatiran yang berlarut-larut.
BPS mencatat, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Juli 2024 mencapai 5,18%, naik dari 4,8% di tahun sebelumnya. Dan yang lebih memprihatinkan: pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi justru meningkat menjadi 6,23% pada Februari 2025, naik signifikan dari 5,25% hanya dalam waktu satu tahun. Sementara itu, tingkat pengangguran lulusan SMA justru menurun.
Angka ini seolah menampar ekspektasi lama bahwa gelar sarjana adalah kunci menuju masa depan cerah. Kenyataannya? Banyak yang justru terjebak dalam antrean panjang mencari pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi mereka.
Mengapa Ini Terjadi?
Salah satu akar persoalan terletak pada belum terjalinnya keterhubungan yang kuat antara dunia kampus dan dunia kerja. Istilah “link and match” yang sudah lama digaungkan, tampaknya belum benar-benar membumi. Banyak perguruan tinggi masih terlalu teoritis, belum adaptif terhadap kebutuhan industri yang dinamis.
Di sisi lain, pasar kerja kita masih banyak menyerap lulusan dengan pendidikan rendah, seperti tamatan SD dan SMP. Sementara itu, lulusan perguruan tinggi yang menghabiskan waktu, biaya, dan energi bertahun-tahun di bangku kuliah malah kesulitan menembus lapangan kerja.
Beberapa kampus sudah mencoba mengatasi hal ini. Mereka mulai mengundang praktisi industri sebagai pengajar, membuka program vokasi, dan menyediakan magang bagi mahasiswa. Namun, belum cukup banyak yang mengadopsi pendekatan ini secara konsisten.
Studi dari McKinsey, UNESCO, dan ILO sejak 2008 sudah memberi peringatan: ada kesenjangan besar antara keterampilan yang diajarkan di perguruan tinggi dan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pasar kerja. Jurang ini belum juga tertutup hingga hari ini.
Lebih dari Sekadar Soal Ijazah
Masalahnya bukan cuma soal lapangan kerja yang terbatas. Banyak lulusan sarjana ternyata belum memiliki keterampilan praktis, kreativitas, atau bahkan keberanian untuk memulai usaha sendiri. Di tengah derasnya arus teknologi dan disrupsi AI, kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi menjadi kunci.
Tantangan semakin besar dengan masuknya tenaga kerja asing yang lebih siap dan berkualitas. Persaingan kini tak lagi lokal, tapi global. Dan, sayangnya, banyak lulusan kita masih tertinggal, baik dari sisi kompetensi maupun sikap profesional.
Pemerintah memang telah membuka banyak kampus baru, namun sebagian di antaranya lebih berorientasi pada kuantitas ketimbang kualitas. Hasilnya: ijazah terus dicetak, tapi belum diimbangi dengan kualitas lulusan yang siap pakai.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Meski tampak kompleks, solusi bukan tidak ada. Ada sejumlah langkah yang bisa diambil:
- Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi
Kampus harus lebih terbuka terhadap kolaborasi dengan industri. Kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan nyata, bukan hanya berdasarkan standar internal. - Magang dan Keterlibatan Industri
Mahasiswa perlu diberi pengalaman kerja sedini mungkin, lewat program magang yang terstruktur dan relevan. Dunia kerja bukan lagi tempat belajar pertama, tapi seharusnya sudah dikenalkan sejak kuliah. - Kewirausahaan sebagai Bagian dari Kurikulum
Mendorong mahasiswa untuk jadi pencipta kerja, bukan hanya pencari kerja. Program inkubasi bisnis di kampus bisa jadi ladang subur untuk ide-ide kreatif. - Peran Aktif Pemerintah
Pemerintah bisa memberikan insentif bagi perusahaan yang mau merekrut fresh graduate, serta memperluas program pelatihan kerja berbasis kebutuhan industri.
Jika semua pihak—kampus, industri, dan pemerintah—bisa duduk bersama dan menyamakan langkah, saya percaya masa depan para sarjana Indonesia masih bisa diperbaiki.
Namun, jika tidak, lagu Iwan Fals tadi bukan sekadar nostalgia, tapi ramalan yang perlahan menjadi kenyataan.
Pengamat: Oleh : Dr. Noviardi Ferzi *
Editor: Redaksi/***********