KELAS MENENGAH INDONESIA: KUAT PADAHAL RAPUH, TETAPI TETAP BERTAHAN

Posted on

JAMBI, NUSADAILY.ID – Dr. Noviardi Ferzi, seorang Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik asal Provinsi Jambi menyampaikan opini dan pandangannya tentang keadaan Kelas Menengah di Indonesia yang berdsarkan pandangannya, saat ini menghadapi tekanan ekonomi yang signfikan dan itu tampak dari penurunan jumlah serta daya beli, kondisi ini bagi Dr. Nov sangat mempengaruhi Stabilitas Ekonomi Nasional, Sabtu (26/04/2025)

Pada kesempatan ini Dr. Nov memulai dengan kalimat; “Dianggap cukup mampu untuk tidak mendapat bantuan sosial, tapi tidak cukup kuat untuk bertahan”, yang menurutnya kata – kata dan kalimat ini sangat pantas menggambarkan kondisi kelas menengah yang berada di Indonesia saat ini. Ia menambahkan, tentang gemerlap pencitraan kesuksesan serta stabilitas finansial, yang sesungguhya di bawah permukaan mereka banyak yang sedang berjuang keras.

Dr. Nov, meneruskan kalimatnya yang mengutip tulisan dari, Wasisto Raharjo Jati dalam tulisannya “The Indonesian Middle Class: A Conceptual Debate” yang dimuat dalam Masyarakat: Jurnal Sosiologi edisi 2017, menyatakan bahwa istilah “kelas menengah” dalam studi politik dan masyarakat tidak memiliki definisi yang sepenuhnya baku. Yang Artinya, kelas ini umumnya kerap menjadi ruang abu-abu: tidak miskin, tetapi juga belum mapan secara utuh.

Menurut Kamus Cambridge, kelas menengah ialah kelompok sosial yang berpendidikan tinggi seperti dokter, pengacara, dan guru yang memiliki pekerjaan bagus, tidak miskin, namun juga tak bisa disebut kaya. Dan di Indonesia, kelompok ini biasanya diidentifikasi melalui pendapatan bulanan sekitar Rp. 6 juta hingga Rp. 12 juta, tentunya memungkinkan mereka untuk hidup nyaman, punya tabungan, dan menikmati gaya hidup tertentu.

Namun di balik semua itu, kelas menengah di Indonesia sesungguhnya sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. Data menunjukkan jumlah mereka terus berubah-ubah, Pada tahun 2018,
menurut Bank Dunia, kelas menengah mencapai 23% dari populasi.
Namun, pada 2019 turun menjadi 21%, sementara kelompok aspiring middle class (AMC) kelas menengah bawah yang bercita-cita naik kelas, justru meningkat dari 47% menjadi 48%.

Lalu tren ini pun tak berhenti, Pada tahun 2023, jumlah kelas menengah turun drastis menjadi hanya 17%. Sebaliknya, kelompok AMC meningkat menjadi 49%, dan kelompok rentan tumbuh menjadi 23%. Artinya, sejak tahun 2019, sebagian kelas menengah turun kelas menjadi AMC, dan sebagian AMC pun merosot menjadi kelompok rentan.

Menurut Dr. Nov, Fenomena ini memperlihatkan tekanan yang sangat nyata dan sedang dihadapi kelas menengah. Seperti gaya hidup modern yang menuntut kesuksesan, tekanan sosial, persaingan kerja yang ketat, dan biaya hidup yang makin melambung tinggi, membuat kelompok ini seperti berada di pusaran beban psikologis dan finansial. Dalam psikologi populer, situasi ini dikenal sebagai duck syndrome: terlihat tenang di permukaan, padahal kaki terus mendayung cepat di bawah air demi bertahan.

Kenyataannya, kelas menengah saat ini memang sedang dihimpit kondisi ekonomi yang tak bersahabat. Inflasi tinggi dan pendapatan yang stagnan memaksa mereka beradaptasi dengan harga pangan yang terus naik, terutama beras yang makin sulit dijangkau. Sebagian besar penghasilan akhirnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, tanpa ruang untuk menabung atau sekadar bersantai dan berekreasi.

Wakil STIE Jambi ini pun menambahkan, bahwa di Tahun 2025 ini, naiknya upah minimum hanya 3–4 persen saja. Di sisi lain, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) justru meningkat, dan banyak pekerja yang akhirnya berpindah ke sektor informal yang kondisinya justru kurang stabil. Data per November tahun 2024 bahkan menunjukkan rata-rata tabungan milik masyarakat hanya sekitar Rp. 4,6 juta, lebih rendah dari sebelumnya yang memperlihatkan kesulitan nyata dalam menjaga stabilitas keuangan keluarga.

Meski demikian, harapan tentu tetap masih ada, Salah satunya melalui literasi keuangan. Masyarakat kelas menengah perlu memperkuat pengelolaan anggaran keuangan, disiplin dalam menabung, dan cermat dalam menentukan prioritas pengeluaran. Diversifikasi sumber pendapatan serta peningkatan keterampilan juga menjadi strategi penting agar mereka tetap bertahan dan tak tergerus oleh tekanan ekonomi.

Pemerintahan Presiden Prabowo pun menyadari pentingnya peran kelas menengah sebagai penggerak ekonomi nasional. Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mendukung kesejahteraan kelompok ini, seperti perlindungan sosial, subsidi, insentif pajak seperti PPN DTP untuk pembelian rumah, bantuan iuran kesehatan, KUR (Kredit Usaha Rakyat), hingga program kartu prakerja.

Menurutnya, Langkah-langkah ini diharapkan bisa menjadi bantalan agar kelas menengah tidak terus merosot ke bawah. Karena jika mereka jatuh, bukan hanya individu yang terdampak tetapi perekonomian nasional pun ikut melemah. Oleh karena itu, memperkuat dan menjaga keberlangsungan kelas menengah bukan sekadar urusan ekonomi, tapi soal menjaga stabilitas sosial bangsa.

Pengamat : Dr. Noviardi Ferzi
Editor : Angga Saputra (Redaksi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *