Makan Gratis Bikin Kenyang, Pendidikan Gratis Bikin Bangsa Terang

Posted on

Oleh: Asra’i Maros, S.Sos., M.Si.
(Peneliti SDGs Center / Dosen IAK Setih Setio)

Pendidikan bukanlah sekadar fasilitas negara, melainkan investasi jangka panjang yang menentukan arah masa depan bangsa. Negara maju menempatkan pendidikan tinggi sebagai prioritas karena dari sanalah lahir sumber daya manusia yang inovatif, produktif, dan mampu membawa perubahan. Tanpa akses pendidikan yang luas, Indonesia berisiko kehilangan generasi emasnya dan terus terjebak dalam lingkaran ketertinggalan.

Sayangnya, data menunjukkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi barang mewah. Merujuk catatan Ditjen Dukcapil, jumlah penduduk Indonesia pada Juni 2022 mencapai 275,36 juta jiwa, namun hanya 6,41 persen yang berhasil mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Rinciannya, D1 dan D2 hanya 0,41 persen, D3 sebesar 1,28 persen, S1 sebesar 4,39 persen, S2 sebesar 0,31 persen, dan yang mampu mencapai jenjang S3 hanyalah 0,02 persen. Angka ini mencerminkan betapa sempitnya akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi, seolah-olah kampus hanya bisa dimasuki kalangan tertentu saja.

Kondisi ini semakin nyata ketika melihat situasi di Provinsi Jambi. Data pendaftaran beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu menunjukkan betapa besarnya kebutuhan terhadap pendidikan gratis. Pada 2023, tercatat 1.893 orang mendaftar, sementara kuotanya hanya 210 orang. Tahun berikutnya jumlah pendaftar melonjak drastis menjadi 2.552 orang, tetapi kuota penerima tetap 210. Tahun 2025, jumlah pendaftar masih tinggi di angka 1.881 orang, namun lagi-lagi hanya 210 orang yang bisa menerima. Ribuan mahasiswa lain terpaksa mengubur mimpi kuliah, bukan karena kurangnya semangat, melainkan karena terbentur biaya. Penurunan jumlah pendaftar di 2025 bukan tanda kebutuhan menurun, melainkan cermin rasa putus asa akibat peluang lolos yang terlalu kecil.

Mirisnya, realita rendahnya persentase angka lulusan perguruan tinggi serta tingginya kebutuhan akan pendidikan tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang memadai. Kebijakan pendidikan tinggi kalah saing dengan kebijakan makan bergizi gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah — dan hal ini menjadi paradoks. Tidak ada yang salah dengan memberikan gizi yang baik bagi anak-anak, sebab perut kenyang memang membantu mereka belajar dengan lebih baik. Namun, jika kebijakan negara lebih sibuk mengurus makan gratis ketimbang memastikan pendidikan gratis, arah pembangunan patut dipertanyakan. Perut yang kenyang hanya bertahan sehari, tetapi pendidikan yang terjangkau memberi bekal seumur hidup.

Suara anak-anak bangsa sendiri sudah menyuarakan kebenaran sederhana ini. Pada 3 Februari 2025, ratusan pelajar dari tingkat SD hingga SMA di Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua, turun ke jalan dan berteriak lantang: “Kami Tolak MBG, Kami Pilih Pendidikan Gratis!” Teriakan itu singkat, tetapi sarat makna. Mereka paham bahwa makanan hanya memberi kenyang sesaat, sementara pendidikan adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Pesan dari Yahukimo seharusnya menggugah kesadaran seluruh bangsa. Jika benar ingin membangun Indonesia yang kuat, pemerintah tidak cukup hanya memberi makan. Negara harus memastikan bahwa setiap anak muda — dari Sabang hingga Merauke — memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan tinggi tanpa terbebani biaya. Sebab, makan gratis bisa bikin kenyang, tetapi pendidikan gratislah yang akan membuat bangsa ini terang.

Redaksi nudadaily.id/*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *