PTN BH: Kampus Mandiri atau Pabrik Duit?

Posted on

Oleh: Asra’i Maros, S.Sos., M.Si.(Peneliti SDGs Center/Dosen IAKSetih Setio)

BUNGO, NUSADAILY.ID – Kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) digadang-gadang sebagai langkah strategis pemerintah untuk melahirkan kampus yang lebih adaptif, inovatif, dan kompetitif. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, status PTN BH memberi otonomi penuh bagi kampus untuk mengelola akademik, keuangan, hingga aset sendiri. Harapannya? Mutu pendidikan naik, akses lebih luas, dan daya saing global meningkat.

Tapi mari jujur saja, di balik jargon manis itu, banyak mahasiswa justru merasa: PTN BH makin mirip pabrik duit. Otonomi kampus perlahan berubah jadi beban dompet, dan kata “kemandirian” sering berarti “bayar sendiri, lebih mahal lagi”.

Persaingan Tak Lagi Sehat

PTN BH jelas diuntungkan. Dengan dana besar, akses jaringan, dan legitimasi publik, mereka jadi magnet utama calon mahasiswa. Akibatnya, perguruan tinggi swasta (PTS) makin kesepian. Banyak PTS kehilangan mahasiswa, bahkan terancam tutup. Ironisnya, bukannya memperluas akses pendidikan, PTN BH justru memperlebar jurang ketimpangan antara PTN dan PTS.

UKT Naik, Dompet Menjerit

Kebebasan mencari dana membuat PTN BH rajin “berinovasi” dalam satu hal: menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kelas internasional, program kerja sama industri, hingga layanan “premium” bermunculan, tapi tentu dengan harga yang tidak ramah kantong. Tidak heran, tiap tahun muncul gelombang protes mahasiswa karena biaya kuliah semakin mencekik. PTN BH jadi kampus “mandiri”, tapi mahasiswa dipaksa lebih mandiri lagi untuk membayar.

Akses yang Katanya Terbuka, Nyatanya Tertutup

Tujuan awal PTN BH adalah membuka akses pendidikan. Nyatanya, yang paling diuntungkan adalah mereka dari keluarga menengah ke atas. Mahasiswa miskin? Meski ada KIP Kuliah, faktanya biaya hidup tinggi, kuota beasiswa terbatas, dan sistem seleksi yang ketat membuat banyak yang tersingkir. Pendidikan yang seharusnya jadi public goods, berubah jadi semacam “privilege” bagi yang mampu.

Otonomi atau Ladang KKN?

Otonomi kelembagaan memang memberi ruang kreativitas, tapi juga membuka celah praktik kotor. Dari pengelolaan aset, kerja sama bisnis, hingga rekrutmen dosen dan pegawai, potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu mengintai. Tanpa pengawasan yang kuat, PTN BH rawan tergelincir menjadi mesin pencetak uang ketimbang pusat pencetak ilmu.

Saatnya Evaluasi Serius

Pertanyaan besar pun muncul: apakah PTN BH benar-benar kampus mandiri untuk rakyat, atau sekadar pabrik duit yang membebani mahasiswa? Evaluasi kebijakan ini sangat mendesak. Mutu memang penting, daya saing global juga perlu, tapi jangan sampai semua itu dibayar dengan akses pendidikan yang makin sempit dan biaya kuliah yang melangit.

Pendidikan tinggi seharusnya tetap jadi hak, bukan barang dagangan. Jika tidak ada koreksi, mimpi besar melahirkan world class university bisa saja berubah jadi mimpi buruk: world class tuition fee.

Redaksi nusadaily.id/*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *