Pendidikan di Indonesia kerap dielu-elukan sebagai jalan emas menuju masa depan. Namun di balik retorika itu, wajah pendidikan kita masih jauh dari adil dan merdeka. Di kota, sekolah berfasilitas digital dengan akses global kian berkembang, sementara di pelosok negeri ribuan sekolah masih berjuang dengan ruang reyot, guru terbatas, bahkan listrik yang tak selalu menyala. Ironisnya, jurang kesenjangan ini terus melebar di tengah jargon “Merdeka Belajar” yang semakin terdengar seperti slogan politik ketimbang kenyataan.

Rp757,8 triliun. Itulah anggaran pendidikan Indonesia pada 2026, seperlima dari total APBN, angka besar yang diamanatkan konstitusi demi masa depan anak bangsa. Tetapi, pertanyaan mendasar tetap menggantung: apakah uang sebesar itu benar-benar sampai ke ruang kelas dan murid yang membutuhkannya?

Pemerintah akan mencabut hak istimewa sekolah kedinasan dalam pembiayaan dari anggaran pendidikan nasional. Mulai 2026, alokasi 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan tidak lagi digunakan membiayai sekolah-sekolah kedinasan, melainkan sepenuhnya dialihkan ke sekolah umum, madrasah, dan perguruan tinggi, Jumat (22/08/2025).

Pemerintah mengalokasikan Rp274,7 triliun untuk sektor pendidikan dalam RAPBN 2026, turun 3,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut penyesuaian ini sejalan dengan fokus efisiensi belanja, meski porsi anggaran pendidikan tetap menjadi yang terbesar guna mendukung pemerataan akses, peningkatan kualitas, serta reformasi sistem pembelajaran.