Site icon Nusa Daily

Amuk Massa Jambi dan Pelajaran untuk PT. SAS di Aur Kenali

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

JAMBI, NUSADAILY.ID – Peristiwa amuk massa yang baru-baru ini terjadi di Jambi seharusnya menjadi cermin bagi perusahaan dan pemerintah daerah dalam merespons aspirasi masyarakat. Ledakan kemarahan publik tidak muncul dalam ruang hampa; ia lahir dari akumulasi ketidakpuasan, ketidakadilan, dan rasa terancam terhadap keberlanjutan hidup sehari-hari. Kasus yang sedang mencuat terkait rencana pembangunan stokfile dan terminal untuk kepentingan khusus (TUKS) PT. SAS di Aur Kenali, Telanaipura, Jambi, merupakan salah satu contoh nyata bagaimana konflik sosial-ekologis berpotensi meletup jika suara masyarakat diabaikan, Jumat (05/09/2025).

Secara konseptual, teori konflik lingkungan yang dikemukakan oleh Martinez-Alier (2002) menyatakan bahwa benturan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan sering kali menimbulkan ecological distribution conflicts. Masyarakat lokal menanggung beban risiko kesehatan, pencemaran udara, kebisingan, hingga penurunan kualitas air, sementara keuntungan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh korporasi. Situasi inilah yang berpotensi dihadirkan PT. SAS bila memaksakan pembangunan stokfile dan TUKS di kawasan yang berdekatan dengan permukiman dan fasilitas publik.

Dari perspektif kesehatan masyarakat, penelitian WHO (2018) menegaskan bahwa kawasan industri yang tidak dikelola dengan baik meningkatkan paparan polusi udara (partikulat PM2.5 dan PM10), kebisingan, hingga potensi gangguan pernapasan kronis. Aur Kenali yang merupakan kawasan padat penduduk jelas tidak dirancang sebagai zona industri berat. Bila proyek ini tetap berjalan, risiko penyakit pernapasan, hipertensi akibat kebisingan, bahkan penurunan kualitas hidup masyarakat menjadi ancaman nyata.

Selain aspek kesehatan, pembangunan stokfile juga menyimpan risiko ekologis. Studi Sitorus (2020) dalam Jurnal Ekologi Tropis menunjukkan bahwa aktivitas bongkar muat batubara berpotensi merusak kualitas air tanah dan sungai akibat limbah pencucian serta tumpahan batubara. Jika hal ini terjadi di Telanaipura, yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan, maka dampaknya tidak hanya pada masyarakat sekitar, melainkan juga pada reputasi tata kelola lingkungan daerah.

Dalam konteks tata kelola, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas menekankan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan partisipasi masyarakat sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, pemaksaan pembangunan tanpa konsultasi publik yang bermakna jelas bertentangan dengan prinsip hukum dan etika pembangunan.

Amuk massa yang terjadi di Jambi baru-baru ini semestinya menjadi alarm keras bagi PT. SAS. Masyarakat bukan sekadar objek pembangunan, melainkan subjek yang memiliki hak dasar atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945. Mengabaikan hal ini sama artinya dengan mereduksi pembangunan menjadi sekadar akumulasi kapital, tanpa mempertimbangkan dimensi keadilan ekologis dan sosial.

Akhirnya, pelajaran yang harus dipetik adalah bahwa setiap upaya pembangunan—terutama yang berisiko tinggi terhadap lingkungan, harus dilakukan dengan keterbukaan, dialog, serta uji kelayakan ilmiah yang transparan. Jika tidak, konflik sosial akan terus berulang, dan kerugian yang ditanggung bukan hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh perusahaan dan pemerintah daerah sendiri.

Daftar Pustaka

Martinez-Alier, J. (2002). The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation. Cheltenham: Edward Elgar.

Sitorus, H. (2020). Dampak Aktivitas Bongkar Muat Batubara terhadap Kualitas Lingkungan Perairan. Jurnal Ekologi Tropis, 24(2), 115-127.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. World Health Organization. (2018). Ambient (Outdoor) Air Pollution. Geneva: WHO.

Exit mobile version