Menelaah Janji Pemulihan Ekonomi dalam 3 Bulan Menkeu Baru

Posted on

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

JAMBI, NUSADAILY.ID – Pernyataan Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, bahwa ekonomi Indonesia dapat kembali pulih hanya dalam dua hingga tiga bulan, sontak menyedot perhatian publik. Janji ini dilontarkan di tengah gejala perlambatan sejak Mei hingga Agustus 2025, ketika rupiah tertekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, dan ekspektasi pelaku usaha cenderung menurun. Meskipun pada kuartal II/2025 pertumbuhan ekonomi masih positif di angka 5,12 persen, perlambatan tersebut mengindikasikan adanya “output gap” yang perlu segera dijawab dengan langkah kebijakan yang cepat dan tepat.

Secara rasional, janji pemulihan ekonomi dalam tiga bulan perlu ditinjau dari beberapa perspektif. Pertama, dari sisi struktur ekonomi, Indonesia masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 50 persen terhadap PDB. Menurut literatur ekonomi makro (Blanchard, 2017), dalam kondisi perlambatan siklikal, stimulus fiskal melalui percepatan belanja negara dan insentif pada sektor swasta bisa menggerakkan konsumsi dan produksi sehingga pemulihan relatif lebih cepat. Artinya, keberanian Purbaya menjanjikan pulih dalam tiga bulan hanya mungkin terealisasi jika belanja negara benar-benar dieksekusi dengan disiplin dan tanpa hambatan birokrasi.

Kedua, stabilitas nilai tukar rupiah dan penguatan IHSG sangat dipengaruhi arus modal asing. Dalam kerangka Mundell-Fleming, efektivitas kebijakan fiskal hanya berjalan bila kepercayaan investor terjaga. Di sinilah pengalaman panjang Purbaya di pasar keuangan bisa menjadi modal penting. Efek sinyal dari pernyataannya berpotensi memulihkan psikologi pasar dalam jangka pendek, sehingga ekspektasi positif terhadap rupiah dan IHSG bisa terbentuk lebih cepat. Janji pemulihan dalam tiga bulan dengan demikian bukan semata soal instrumen teknis, melainkan juga strategi komunikasi kebijakan yang bertujuan membangun optimisme.

Namun, sejarah menunjukkan pemulihan ekonomi jarang berlangsung instan. Krisis pandemi COVID-19 membuktikan bahwa meskipun stimulus fiskal dan moneter digelontorkan dalam jumlah besar, butuh lebih dari setahun untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi di atas lima persen. Bedanya, saat ini Indonesia tidak menghadapi krisis fundamental, melainkan perlambatan siklikal. Karena itu, target tiga bulan masih bisa dianggap realistis—dengan syarat ada koordinasi solid antara kebijakan fiskal Kementerian Keuangan dan kebijakan moneter Bank Indonesia, ditambah kepastian hukum untuk menjaga iklim investasi.

Arahan Presiden Prabowo Subianto agar pertumbuhan ekonomi digenjot hingga 8 persen membawa konsekuensi yang lebih berat. IMF (2023) menegaskan bahwa pertumbuhan tinggi berkelanjutan di negara berkembang hanya bisa dicapai lewat reformasi struktural, peningkatan produktivitas, dan hilirisasi industri. Artinya, janji pemulihan Purbaya dalam tiga bulan sebaiknya dipahami sebagai strategi membangun ekspektasi pasar, expectation management, bukan proyeksi teknokratik jangka panjang.

Akhirnya, publik berhak menilai apakah janji manis Purbaya akan menjadi kenyataan atau sekadar retorika politik-ekonomi. Yang jelas, menjaga kepercayaan pasar dalam jangka pendek memang mendesak, tetapi menyiapkan fondasi pertumbuhan berkelanjutan jauh lebih penting agar ekonomi Indonesia tidak sekadar “pulih sesaat” melainkan tumbuh lebih kokoh di masa depan.

Daftar Pustaka

Blanchard, O. (2017). Macroeconomics (7th ed.). Pearson Education.

International Monetary Fund. (2023). World Economic Outlook: Navigating Global Divergences. Washington, D.C.: IMF.

World Bank. (2024). Indonesia Economic Prospects: Building Resilience Amid Global Uncertainty. Washington, D.C.: World Bank. Badan Pusat Statistik. (2025). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II 2025. Jakarta: BPS.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *