Site icon Nusa Daily

Bahaya Buzzer dan Literasi Politik dalam Aksi Agustus 2025

Oleh: Angga Saputra

BUNGO, NUSADAILY.ID – Gelombang demonstrasi yang mengguncang Indonesia sejak 25 Agustus 2025 menyisakan pelajaran penting: bagaimana arus digital dan rendahnya literasi politik bisa berkolaborasi dalam menghancurkan kepercayaan publik, Jumat (05/09/2025).

Aksi yang semula berniat menyorot tunjangan tinggi DPR, terutama tunjangan perumahan hingga Rp50 juta per bulan, berubah menjadi kekacauan. Pemicunya muncul dari ajakan awal yang viral di WhatsApp dan media sosial, atas nama kelompok “Revolusi Rakyat Indonesia”.

Demonstrasi ini menghasilkan kericuhan besar, mulai dari pelemparan batu, pembakaran fasilitas umum, hingga bentrokan di kolong jembatan Pejompongan. Polisi kemudian mengamankan sejumlah pelajar dan anggota kelompok anarko.

Bahkan media sosial sempat menayangkan video tragis ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), tertabrak kendaraan taktis Brimob. Kematian ini kemudian memicu eskalasi, menyeret ribuan ojek online ke jalan, dan menimbulkan kerusuhan lebih luas di berbagai kota.

Melibatkan media sosial dalam peristiwa ini, ada laporan yang menyebut bahwa ratusan ribu akun TikTok dan YouTube telah dibeli via platform GitHub, bukan untuk hiburan, melainkan sebagai “mesin provokasi” untuk menyerang pemerintah dan memecah belah bangsa. Meskipun sumber ini berasal dari media sosial (seperti Instagram Reels), indikasi adanya manipulasi digital ini harus dianggap serius sebagai sinyal bahaya bagi demokrasi digital kita.

Gelombang aksi juga merembet ke penjarahan rumah figur publik, termasuk milik Ahmad Sahroni, dengan video siaran langsung di TikTok yang mendorong seruan penjarahan ke tokoh lain. Semua ini memperlihatkan bahwa kekuatan narasi digital bisa membelokkan emosi publik menjadi kekerasan massal.

Penusukan narasi semacam ini tidak terjadi sendirian. Gelombang opini publik menjadi reaktif ketika berhadapan dengan isu, tanpa ada filter literasi politik. Massa aksi, terutama pelajar dan mahasiswa, tertarik turun ke jalan oleh emosi media sosial semata, tanpa memahami kerangka teori negara atau proses demokrasi yang benar.

Literasi politik yang lemah membuat aksi massa terperangkap pada persepsi semata. Tidak seperti gerakan reformasi tahun 1998 yang dibangun atas kesadaran kolektif dan agenda perubahan politik, aksi Agustus 2025 lebih banyak diwarnai oleh informasi yang belum terverifikasi dan jargon-jargon instan.

Akar masalahnya adalah minimnya pendidikan politik, baik di ruang formal maupun informal, yang membuat warganet mudah terjebak dalam narasi provokatif. Maka, pesan PB PGRI tentang pentingnya konten media sosial yang edukatif dan pemersatu adalah sangat relevan. Guru dan tenaga pendidik harus menjadi garda terdepan dalam membangun kesadaran kritis digital, bukan sekadar sekumpulan akun media sosial.

Jika kebijakan publik terlalu reaktif terhadap narasi digital, bukan tidak mungkin demokrasi kita tergerus oleh logika viral, bukan logika rasional. Dan jika kita membiarkan fitnah dan hoaks tanpa filter, kita tidak hanya kehilangan kepercayaan pada institusi, tetapi juga ikatan sebagai bangsa.

Sebagai penutup, menjaga persatuan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban, bahkan lebih dari itu, ia adalah investasi demokrasi jangka panjang. Jika kita tidak melawan kekerasan narasi digital dengan literasi politik, bukan Presiden yang akan runtuh, tapi masa depan kita sebagai bangsa yang beradab.

Diolah oleh: Redaksi / nusadaily.id/*

Exit mobile version