JAKARTA, NUSADAILY.ID – Data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) kini menuai polemik hingga ke level internasional. Center of Economic and Law Studies (CELIOS) resmi melaporkan BPS ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, meminta audit atas metodologi penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), Senin (08/09/2025).
CELIOS menilai angka pertumbuhan 5,12% tidak sejalan dengan kondisi nyata di lapangan. Lembaga riset tersebut memperingatkan bahwa data yang “tidak akurat” dapat menyesatkan kebijakan pemerintah, berpotensi mengurangi bantuan sosial, serta menambah tekanan pada kelas menengah. “BPS harus lebih transparan, independen, dan bebas dari intervensi politik,” tegas CELIOS dalam laporannya.
Surat resmi telah dikirim ke United Nations Statistics Division (UNSD) dan Komisi Statistik PBB, yang kemudian memberikan tanggapan awal bahwa permintaan audit akan dibahas secara internal sebelum diputuskan langkah selanjutnya.
Pemerintah Indonesia segera merespons. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa seluruh data BPS dihitung secara transparan dan sesuai dengan metodologi internasional.
Perdebatan ini juga mengemuka di ruang publik. Akademisi bisnis Rhenald Kasali melalui kanal YouTube-nya menyoroti jurang antara angka resmi BPS dengan persepsi publik akan lesunya ekonomi. “Apakah angka ini manipulatif, atau justru menandakan perubahan struktural besar dalam konsumsi, investasi, dan perilaku ekonomi masyarakat?” ujarnya.
Dari sisi analis pasar, pandangan ekonom terbelah. Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank, menyebut ada bukti empiris yang mendukung data BPS. Sebaliknya, Helmi Arman dari Citi Indonesia menilai ada data BPS yang belum sepenuhnya terbuka untuk publik.
Kepala BPS menegaskan bahwa kontroversi ini hanya disebabkan oleh “miss komunikasi”. Menurutnya, banyak pihak belum memahami esensi dari angka pertumbuhan ekonomi. “Kami sudah berulang kali menjelaskan di berbagai forum, kenaikan 5,12% adalah hasil perhitungan resmi sesuai kaidah statistik,” ujarnya.
Kasus ini menyoroti problem klasik negara berkembang: ketegangan antara kredibilitas data resmi, persepsi publik, dan tuntutan transparansi global.
Jurnalis: Ang/Pras/Bintang34/88*
Sumber: BPS, CELIOS, UNSD, Kanal YouTube Rhenald Kasali, ekonom pasar
Diusun oleh: Redaksi / nusadaily.id