Site icon Nusa Daily

PPPK Paruh Waktu, antara Solusi atau malah Diskriminasi?

Oleh: Asra’i Maros, S.Sos., M.Si.

BUNGO, NUSADAILY.ID – Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang cukup signifikan melalui Keputusan Menpan RB Nomor 16 Tahun 2025. Kebijakan tersebut memperkenalkan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu. Skema ini dimaksudkan sebagai alternatif untuk menampung tenaga honorer yang selama ini belum berhasil masuk melalui jalur CPNS maupun PPPK penuh waktu. Kehadiran kebijakan ini pada satu sisi tampak sebagai solusi pragmatis, tetapi pada sisi lain juga memunculkan kekhawatiran akan lahirnya bentuk diskriminasi baru di tubuh birokrasi kita, Sabtu (14/09/2025).

Secara formal, aturan ini menegaskan bahwa PPPK paruh waktu tetap berstatus Aparatur Sipil Negara, meskipun bekerja dengan jam yang lebih singkat. Masa kerja ditetapkan selama satu tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi kinerja. Sementara itu, penghasilan ditentukan minimal setara dengan pendapatan sebelumnya saat masih menjadi tenaga honorer, atau mengikuti upah minimum regional di daerah masing-masing. Fleksibilitas ini memungkinkan instansi menyesuaikan kebutuhan tenaga dengan kapasitas anggaran yang tersedia, sekaligus memberi peluang legalisasi status bagi ribuan honorer yang selama ini bekerja tanpa kepastian hukum.

Jika ditinjau dari perspektif kebijakan publik, keberadaan PPPK paruh waktu dapat dipahami sebagai bentuk respons adaptif pemerintah terhadap tekanan masalah klasik tenaga honorer. Negara dituntut menghadirkan solusi yang mampu menjembatani keterbatasan anggaran, kebutuhan pelayanan publik, dan tuntutan kesejahteraan tenaga kerja. Di atas kertas, kebijakan ini menghadirkan jalan tengah: tenaga honorer memperoleh status resmi ASN, pemerintah tetap bisa menjaga beban fiskal, dan publik tidak kehilangan layanan yang selama ini didukung oleh mereka.

Namun, di balik semangat solutif itu, terdapat risiko serius bila implementasi kebijakan tidak diatur dengan cermat. Dengan kontrak yang hanya berlaku setahun, para pekerja tetap berada dalam kondisi kerja yang penuh ketidakpastian. Kontrak yang mudah diputuskan bisa berimplikasi pada sulitnya merencanakan masa depan, mulai dari urusan keluarga hingga akses finansial seperti pinjaman dan kredit. Selain itu, aturan mengenai gaji yang hanya menekankan standar minimum juga membuka celah ketidakadilan, apalagi bila jam kerja tidak diimbangi dengan perhitungan proporsional yang transparan.

Kebijakan ini juga rawan menimbulkan diskriminasi struktural. Di lapangan, evaluasi kinerja yang menjadi dasar perpanjangan kontrak berpotensi dipengaruhi subjektivitas pimpinan, tanpa adanya standar nasional yang jelas. Di daerah dengan UMR rendah, gaji pegawai paruh waktu bisa jauh lebih kecil daripada di daerah lain, meski beban kerja relatif sama. Kondisi ini berpotensi melahirkan kelas kedua di tubuh ASN: PPPK penuh waktu yang memiliki peluang karier dan perlindungan lebih baik, dan PPPK paruh waktu yang hanya dianggap sebagai penopang sementara dengan posisi rentan.

Dari sisi kebijakan publik, kelemahan ini menunjukkan adanya jarak antara desain normatif dan implementasi faktual. Negara memang berniat memperluas akses kepegawaian, tetapi tanpa instrumen pengawasan, standar evaluasi, dan jaminan hak yang tegas, kebijakan ini bisa berubah menjadi bentuk eksploitasi legal yang justru meneguhkan ketidakadilan. Regulasi teknis yang lebih detail, mulai dari formula penghitungan upah, jaminan sosial, hingga mekanisme konversi ke PPPK penuh waktu, mutlak diperlukan agar tidak ada kelompok yang terpinggirkan.

Dengan demikian, PPPK paruh waktu menempatkan kita pada persimpangan. Apakah ia benar-benar menjadi solusi yang inklusif atau justru menciptakan diskriminasi baru, semuanya bergantung pada bagaimana kebijakan ini diterjemahkan dalam praktik. Jika pemerintah mampu menjamin perlindungan hak dasar, memastikan evaluasi yang objektif, dan memberi jalur mobilitas karier, maka PPPK paruh waktu bisa menjadi instrumen adaptif yang bermanfaat. Tetapi bila regulasi hanya berhenti pada kerangka normatif tanpa pengawasan yang efektif, maka kebijakan ini tidak lebih dari sekadar pengesahan pekerjaan tidak pasti dengan label ASN.

Pada akhirnya, kebijakan publik yang baik tidak hanya dinilai dari niat awalnya, tetapi juga dari bagaimana ia diterapkan dan dampaknya bagi kelompok yang menjadi sasaran. PPPK paruh waktu adalah ujian nyata: apakah negara benar-benar berpihak pada keadilan sosial bagi tenaga kerja, atau justru melegalkan diskriminasi dalam wajah baru birokrasi.

Redaksi nusadaily.id/*

Exit mobile version